1. Tanda bahaya mentalitas miskin no 1: Uang, uang, uang.
Tanda bahwa Anda memiliki mentalitas miskin ini di kepala Anda adalah bila Anda tidak berhenti berpikir tentang uang, uang, uang, uang dan uang.
Mari saya tanya, "Apa yang Anda pikirkan tentang uang? Kapan Anda berpikir tentang uang? Apakah Anda sering cemas karena tidak punya cukup uang, atau bertanya-tanya berapa yang bisa Anda dapatkan? Pernahkah Anda berpikir tentang apa alasan Anda menginginkan uang, dan kemungkinan bahwa Anda bisa saja mendapatkan semua itu walau tanpa uang? Apakah Anda merasa harus selalu punya uang?"
Apakah Anda merasa iri bila ada orang yang mendapatkan uang lebih banyak dari Anda, "Kok dia bisa dapat uang lebih banyak dari saya, ya? Kok gajinya lebih besar ya?" Dan ungkapan cemburu serupa, walau tidak diucapkan dengan mulut.
Banyak orang yang miskin atau bermental miskin yang menghabiskan waktu dan energi mereka dengan memikirkan tentang uang, atau lebih tepatnya, memikirkan fakta bahwa mereka tidak punya (cukup) uang.
· Aku lagi gak punya uang nih ... ,
· Kapan aku punya uang banyak ya... ,
· Kalau aku punya uang ... ,
· Nanti kalau aku punya uang ... ,
· Seandainya aku punya uang ... ,
· Bagaimana ya caranya aku dapat uang ... ,
· Berapa keuntungan yang aku dapat ... ,
· Pekerjaan itu, berapa ya gajinya ... ,
· Bagaimana melipat gandakan uang yang sudah aku punya ya ... ,
· Usaha apa yang paling bisa menghasilkan uang ya ... ,
· Bagaimana kalau uangku tidak cukup ... ,
· Ada gak yang lebih murah agar aku dapat untung & menghemat uang ... ,
· Kenapa gajiku gak naik-naik ya ... ,
· Kalau aku dipecat, gak ada lagi gaji, keluargaku makan apa ... ,
· Wah uangku ini masih kurang ... ,
· Bagaimana kalau tidak punya uang ... ,
· Ada uang lelahnya gak ya ... ,
· Wah gaji bulan ini sudah habis, kasbon di mana lagi ya ... ,
· Aduh uangku udah habis lagi nih, bokek lagi nih ... ,
· Dsb. Pokoknya uang, uang, uang ... ,
Tidak peduli berapa banyaknya pun uang Anda, bila Anda masih berkutat dengan pikiran tentang uang-uang seperti di atas, maka mentalitas Anda masih miskin, dan kehidupan Anda masih dipenuhi dengan "duka cita" karena ketiadaan cukup uang, atau kecemasan atau ketakutan akan kekurangan, kehilangan atau tidak kebagian uang, atau tidak semangat melakukan apapun bila tidak ada uangnya, dsb.
Pokoknya, bila semua pemikiran Anda tentang segala segi kehidupan Anda masih diwarnai dan dimotivasi oleh sebuah alat tukar bernama uang, ini adalah tanda bahaya masih adanya mentalitas miskin dalam diri Anda.
Dahulu ketika saya masih miskin (dan bermental miskin), pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itulah yang menghiasi keseharian saya. Begitu juga kegiatan yang berkutat dengan uang, dari yang mencatat semua bentuk pengeluaran dari yang kecil sampai yang besar di tiap akhir hari, menghitung-hitung uang apakah bakal cukup sampai akhir bulan, sampai bertanya-tanya terus tentang bagaimana orang kaya mendapat uang mereka.
Kalau ada tawaran pekerjaan, yang saya tanyakan pertama adalah berapa bayarannya. Kalau diajak usaha, berapa untungnya.
Hidup saya terfokus pada uang dan terutama pada ketiadaannya dalam hidup saya.
Tiada habis saya memikirkan tentang hal-hal yang tidak bisa saya beli karena tidak ada uang, serta hal-hal yang mungkin saya beli seandainya saya punya uang.
Saya sering mengkhayal tentang turun hujan uang dari langit.
Saya juga sering sekali iri hati, dan dengki malah, pada mereka yang kaya, yang hidupnya sepertinya senang terus, selalu punya uang untuk apapun yang mereka inginkan.
Sering saya menghibur hati dengan mengingat sebuah ajaran bahwa katanya orang kaya sering terhalang masuk surga karena hartanya. Karena banyak dari uangnya yang mungkin tidak berasal dari sumber yang halal. Dan kalau sudah begini, baru saya merasa tidak terlalu sedih dan iri lagi walau tidak kaya.
Singkatnya, pikiran tentang uang tidak pernah lepas benar-benar dari benak saya 24/7.
Padahal, uang itu seperti kupu-kupu yang semakin Anda kejar dengan agresif, justru semakin sulit untuk Anda tangkap.
Sebaliknya, bila kita berhenti mengejar, bisa saja tiba-tiba kupu-kupu tersebut mendekat dan bahkan hinggap, ketika kita justru sedang sibuk menikmati keindahan bunga.
2. Tanda bahaya mentalitas miskin no 2: "Aku benci orang kaya!"
Seperti disebutkan di atas, karena pikiran kita sering berkutat tentang ketiadaan uang yang kita alami, maka kita jadi sering membandingkan diri sendiri dengan orang kaya.
Ya, siapa yang tidak menginginkan menjadi kaya seperti mereka, bisa menjadi dan membeli apapun yang mereka mau.
Tetapi sering kali ketika kita melihat orang yang lebih kaya dari kita tersebut, kita tidak menggunakan kesempatan ini untuk menginspirasi diri, bahwa kalau ada orang yang bisa kaya, kita juga bisa.
The real problem is not why some pious, humble, believing people suffer, but why some do not.
Masalah yang sebenarnya bukanlah kenapa ada orang yang baik, tulus, rendah hati dan beriman yang miskin dan menderita.
Pertanyaan pentingnya adalah kenapa ada orang yang berkarakteristik sama yang tidak miskin atau menderita.
Ini yang seharusnya kita cari tahu, untuk kita tiru.
(Maksudnya, kalau memang disuruh memilih antara jadi orang kaya atau jadi orang baik, saya akan pilih jadi orang baik.
Tetapi kalau bisa kedua-duanya, jadi orang kaya yang baik, atau jadi orang baik yang kaya, bukankah itu jauh lebih baik?)
~ C. S. Lewis ~
Tetapi biasanya kita justru lebih terfokus pada rasa iri kita akan hal-hal yang dimiliki orang kaya yang tidak kita miliki.
Dan ini sama sekali tidak membantu, sebaliknya ini adalah tanda bahaya bahwa kemiskinan kita tidak hanya di lahirnya saja tetapi juga sudah berurat akar pada mentalitas kita. Yang mana hal ini membuat keluar dari kungkungan kemiskinan menjadi lebih sulit karena kita ibaratnya terikat oleh dua tali yang sangat kuat (doble tali pengikatnya, miskin lahir dan miskin mentalitas).
Kenapa rasa iri berbahaya, karena keirian dan kecemburuan ini kemudian bisa mengarah menjadi kebencian.
Tidak lama kemudian Anda akan mulai berpikir atau bahkan mengatakannya dengan terang-terangan bahwa, "Anda benci orang kaya".
Apakah Anda ada merasakan sedikit saja perasaan negatif terhadap orang kaya?
Saya dulu pernah benci orang kaya. Saya benci mereka karena mereka punya semua yang saya inginkan tapi tidak saya punyai - rumah bagus, mobil mewah, baju-baju mahal, kehidupan yang mudah dan menyenangkan.
Dulu saya pernah punya usaha. Dan setiap kali ada konsumen yang datang yang bermobil, saya langsung berpikir, "Nah orang kaya, nih, aku mahalin aja harganya. Mereka toh sudah punya segalanya, uang gak masalah untuk mereka, tidak bakalan mereka rugi walau harga aku bedakan. Mereka toh juga suka membuang-buang uang untuk beli barang mahal."
Dan sebagainya, yang intinya saya sungguh tidak suka sama orang kaya karena dilandasi oleh keirian dan kecemburuan saya pada mereka. Sehingga saya merasa perlu untuk "menegakkan keadilan" dengan membuat orang kaya juga ikut sedikit "menderita" sama seperti saya.
Saya juga sering punya prasangka buruk sekali tentang orang kaya, macam-macam prasangka buruk tersebut. Seperti:
· Orang kaya itu menjadi kaya karena mereka pelit.
· Orang kaya pasti sombong.
· Orang kaya itu boros. Boros temannya setan.
· Orang kaya terbiasa nepotisme dan kolusi. Mereka membuat keputusan yang saling menguntungkan sesama mereka saja.
· Orang kaya egois dan tidak memahami kondisi mereka yang tidak punya.
· Orang kaya tega menyuap siapa saja untuk memuluskan semua jalannya.
· Dsb.
Dan saya juga akan senang sekali kalau mendapat pembuktian bahwa ada orang kaya yang memang bobrok mentalnya.
Saya juga akan senang sekali kalau ada dalil/ajaran yang mengatakan bahwa:
· Orang kaya banyak sekali cobaannya untuk bisa masuk surga.
· Bahwa cobaan hidup itu tidak hanya berbentuk kemiskinan tetapi juga kekayaan. Mereka yang kaya itu sebenarnya sedang diuji oleh Tuhan.
· Bahwa kekayaan tidak bisa membeli kebahagiaan.
· Bahwa banyak orang kaya yang hidupnya merana.
· Bahwa kaya di dunia tidak berarti selamat di akherat dsb.
· Dsb.
Nah, di sinilah problem yang sebenarnya muncul, karena walau saya merasa tidak suka pada orang kaya, dan merasa bahwa kekayaan banyak nilai negatifnya, Anda tahu apa yang saya lakukan?
Ya, saya berusaha dengan sekeras mungkin untuk juga menjadi kaya sama seperti mereka.
Saya berjuang mati-matian untuk mencari kekayaan.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi penyebab konflik internal berkepanjangan yang berlangsung di bawah sadar saya tanpa saya sadari, tetapi yang menjadi penyebab mendasar saya tidak pernah berhasil mendapatkan apa yang saya cari tersebut.
Pikiran, perasaan dan tindakan saya tidak sinkron, sehingga saling menyabotase.
Sama seperti Pak Amir dengan Rumah Makan Padang dan Law of Attractionnya.
Sama seperti orang yang bilang mau sehat tetapi tidak menjalankan hidup sehat.
Sama seperti mereka yang bilang mau pintar tetapi malas belajar.
Sama seperti mereka yang ingin naik gaji tetapi tidak menunjukkan prestasi.
Karena konflik internal ini, sering sekali terjadi ketika saya pikir saya sudah dekat dengan yang saya impikan, impian tersebut buyar berantakan, karena di dalam program pikiran saya, tanpa saya ketahui diam-diam bercokol virus mentalitas miskin, yang selalu merusak semua data tentang kekayaan yang sedang saya olah.
Saya pikir "komputer" saya terprogram untuk sukses, tetapi ternyata tidak, atau paling tidak programnya telah terkorupsi (corrupted) by the poverty mentality virus.
3. Tanda bahaya mentalitas miskin no 3: Membuat keputusan berdasarkan rasa takut.
Ya, membuat keputusan berdasarkan rasa takut akan kegagalan atau takut rugi adalah tanda bahaya akan adanya mentalitas miskin dalam diri Anda yang tidak akan mengantarkan Anda ke kemakmuran atau kesuksesan.
Bahkan mengambil keputusan berdasarkan rasa takut rugi atau takut gagal ini akan merampas rasa bahagia dan ketenangan Anda, merampas rasa gembira Anda akan kemungkinan sukses yang akan datang.
Dan semua rasa takut dan cemas ini akan mempengaruhi tingkah laku Anda.
Pernah Anda lihat orang yang lebih memilih untuk berputar-putar beberapa blok mencari tempat parkir yang gratis dari pada harus membayar beberapa ribu rupiah saja.
Atau orang yang menghabiskan waktu berjam-jam di angkot yang kerjanya "nge-tem" terus daripada membayar beberapa ribu ekstra untuk naik taksi, padahal mereka punya uangnya.
Atau orang yang memilih barang yang lebih murah sedikit walau kualitasnya jauh lebih rendah.
Atau orang yang menunda berobat ketika sakit dengan tujuan berhemat, sampai penyakitnya semakin gawat dan sudah terlambat.
Atau orang yang memilih menyimpan uang 100 ribu mereka daripada menginvestasikannya walau kemungkinan nilai kembali bisa mencapai 10 kali lipatnya.
Atau orang yang memilih bertahan dengan pekerjaan tetapnya selama bertahun-tahun meski sudah jelas hasilnya kecil dan tidak pernah naik, daripada menjajagi kemungkinan baru.
(Saya kenal seorang penjual gado-gado yang telah berjualan selama 40 tahun, dan masih berjualan sampai sekarang, walau rumahnya makin lama makin rusak karena dia tidak pernah punya cukup uang sisa untuk melakukan apa-apa selain untuk makan sehari-hari.)
Bayangkan, 40 tahun melakukan hal yang sama dari hari ke hari walau sudah jelas hasilnya nyaris tidak ada.
Ada banyak sekali kasus kemiskinan kronis seperti ini di dunia, dan di negara kita.
· 20 tahun menjadi pemulung.
· Puluhan tahun menjadi pegawai negeri kelas rendah.
· Puluhan tahun menjadi pembantu orang.
· Puluhan tahun menjadi petani kecil, atau buruh kasar, atau kuli angkut, atau pekerjaan kasar rendahan lainnya.
· Puluhan tahun melakukan pekerjaan yang tidak menyenangkan dan tidak banyak menghasilkan.
· Miskin sedari puluhan tahun yang lalu karena tiada berubahnya mata pencaharian mereka.
Intinya, miskin selama puluhan tahun karena ketakutan yang lebih besar akan kegagalan bila mencoba sesuatu yang baru.
Semua keputusan mirip-mirip ini didasari oleh rasa takut rugi atau takut gagal, lebih baik aman dengan yang selama ini sudah dijalani daripada mengambil tindakan yang belum pasti (atau fear of the unknown alias rasa takut akan sesuatu yang belum diketahui, belum pasti).
Tetapi pembaca, apa yang pasti dalam hidup ini? Bahkan janji Tuhan untuk membalas sepuluh kali lipat semua pemberian kita saja juga in a sense "tidak pasti", karena kita tidak tahu kapannya.
Semua yang kita lakukan, apa lagi yang untuk kali pertama, banyak yang berdasar hanya pada rasa percaya dan keyakinan semata, karena memang kita tidak bisa tahu pasti apa yang akan terjadi nantinya di masa depan kita.
Tetapi keputusan yang diambil berdasarkan rasa takut ini tidak akan mengantarkan kita pada kekayaan. Karena fokus Anda bukan untuk mencoba mendapatkan kemungkinan keuntungannya, tetapi bagaimana menghindari kemungkinan buruknya.
Kalau Anda berkilah, "Habisnya, itu kan belum pasti untung," saya tanya balik, "Tetapi belum pasti rugi juga, kan?"
Selama segala sesuatu itu telah diperhitungkan semaksimal mungkin, apa salahnya mencoba sesuatu yang baru?
Bahkan jodoh yang kita pilih untuk kita nikahi juga belum pasti "menguntungkan", bukan?