Inspektur Jenderal Djoko Susilo menolak diperiksa KPK. Menurut kuasa hukumnya, penolakan pak jenderal itu disebabkan adanya dualisme penanganan dalam kasus Simulator SIM yakni KPK dan kepolisian itu sendiri. Padahal tidak sedikit pihak yang menyayangkan penolakan itu karena mencitrakan bahwa polisi sebagai aparat penegak hukum justru tidak menghormati proses hukum yang sedang dilakukan.
” Kang, pak Djoko tidak mau diperiksa oleh KPK ?” ungkap pak Samad
” Mungkin pak Djoko merasa dirinya senior, sehingga tidak mau diperiksa oleh KPK yang dianggap masih junior bahkan kroco.” sela mas Bambang
” Jadi cicak lawan buaya masih berlangsung nih, dulu pak Susno Duaji merasa tersinggung dengan tindakan KPK, sehingga muncul komentarnya “cicak kok mau melawan buaya”. Kini dalam kasus Simulator SIM dengan pimpinan KPK yang berbeda, sepertinya berlaku pula anggapan yang sama.” sambung mas Johan
” Kasus ini memang rumit dan menyangkut uang ratusan miliar. Rumit karena menyangkut beberapa pihak di lingkaran atas kepolisian. Majalah mingguan Tempo edisi sekarang memberitakan bahwa yang bertanda-tangan dan paraf dalam penetapan pemenang lelang Simulator SIM yang akhirnya bermasalah, bukan hanya pak Djoko tetapi ada juga jenderal-jenderal yang lain. Kalau pak Djoko dipermasalahkan maka petinggi lain yang paraf dan tanda tangan itu juga harus diperiksa oleh KPK. Tidak mungkin KPK hanya berhenti di pak Djoko Susilo saja.” ujar kang Toha
” Jadi hanya dalam teori (hukum) saja dan itu betul-betul diketahui oleh para lawyer yang membela pak Djoko, bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum. Tetapi dalam prakteknya hukum negeri ini masih membedakan “siapa dulu yang diduga bersalah ?”. Jika rakyat langsung disikat, giliran pejabat tunggu dulu.” ujar mas Johan
” Terus tentang penarikan sejumlah penyidik Polri dari KPK, menurut pihak Polri tidak ada hubungannya dengan kasus Simulator SIM. Apa mereka menganggap KPK atau rakyat itu bodoh dan lugu ? Tidak terbantahkan lagi bahwa penarikan itu berhubungan dengan keberanian KPK dalam membongkar kasus Simulator SIM yang diduga melibatkan beberapa perwira tinggi Polri.” lanjut pak Samad
” Semestinya polisi memberikan contoh yang baik sebagai aparat penegak hukum. Jika memang mereka merasa benar, kenapa mesti takut dengan pemeriksaan KPK ? Seperti saya ketika mengendarai motor dan ada pemeriksaan dari aparat kepolisian, kalau saya membawa SIM dan STNK dan menggunakan helm serta tidak merasa melanggar aturan lalu lintas, kenapa saya harus takut ada pemeriksaan ? Saya akan merasa takut jika saat itu saya tidak membawa SIM atau STNK dan tidak menggunakan helm. Kalau rakyat macam saya harus TAAT sama hukum, mengapa mereka, para petinggi itu harus TAKUT sama hukum. Pepatah lama mengatakan “Berani karena benar, Takut karena salah.” ujar kang Toha
” Padahal pemeriksaan KPK terhadap jenderal Djoko harus dimaknai sebagai momentum dan komitmen Polri dalam mengikuti proses hukum yang sedang dijalankan. Pak Djoko harus bisa membeberkan bahwa apa yang dituduhkan terhadap dirinya adalah tidak benar. Bahwa dalam Simulator SIM itu tidak ada kerugian negara, tidak ada penggelembungan anggaran sebagaimana yang dituduhkan. Inilah saatnya pak Djoko membersihkan namanya dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar.” jelas kang Toha
” Kalau seperti sekarang, kesannya pak Djoko menghindar dari pemeriksaan KPK. Maka jangan disalahkan jika rakyat menduga banyak dan berspekulasi macam-macam, jangan-jangan memang ada “SESUATU” yang terjadi dalam pengadaan alat Simulator SIM. Kalau jumlah yang dianggarkan dalam projek pengadaan alat Simulator SIM mencapai ratusan miliar tentu projek ini bukan urusan para “kopral” tetapi ini pasti menjadi urusan para “jenderal”. Hal seperti ini yang mesti diluruskan, harus di-clearkan, sehingga nama baik dan citra Polri tetap terjaga dengan baik. Saya tetap bersangka baik terhadap pak Djoko Susilo, tetapi jika menghadapi pemeriksaan KPK saja sudah timbul “perlawanan” maka saya tidak menyalahkan mereka yang berbalik dan bersangka buruk terhadap pak Djoko pada khususnya maupun institusi Polri pada umumnya.” sambung kang Toha
” Apakah perlu SBY turun tangan, Kang ! agar pak Djoko maupun petinggi Polri yang lain legowo diperiksa oleh KPK ?” tanya mas Bambang.
” Kalau untuk besan saja, pak SBY tidak mempermasalahkan. Saya yakin pak SBY sudah minta pak Kapolri segera memerintahkan bawahannya untuk mau diperiksa KPK.” jawab kang Toha sambil mengingatkan saat Aulia Pohan, petinggi Bank Indonesia, diperiksa oleh KPK.
” Jadi semua terpulang kepada komitmen petinggi Polri, tentu akan lebih baik, akan lebih fair jika pihak luar semisal KPK yang menangani kasus Simulator ini. Karena jika Polri sendiri yang mengusut dan menyidik akan terjadi konflik kepentingan. Serahkan sama KPK untuk penegakan hukum terkait dengan penyalahgunaan kewenangan maupun selingkuh keuangan. Bila perlu semua data yang dibutuhkan segera disampaikan. Memang rasanya menyakitkan bagi keluarga besar Polri, tetapi inilah konsekuensi yang harus diterima jika Polri mau berbenah diri.” usul pak Samad
” Kalau polisi yang menangani ibaratnya ” jeruk makan jeruk”, ya pak ! Saya setuju kalau KPK saja yang menangani kasus ini .” ujar mas Johan
” Rupanya ada saja cobaan bagi pimpinan KPK di setiap periode kepemimpinan. Kita do’akan saja semoga pak Abraham dkk mampu mengatasi semua kendala dan tekanan-tekanan yang datang. Korupsi sudah menjadi biang bagi keterpurukan negeri ini. Andai KPK mampu memerangi korupsi sehingga pejabat kapok berkorupsi ria, rasanya kemajuan negeri tinggal menghitung hari. Sebaliknya jika KPK mulai dilemahkan dan mulai di-protholi kekuatannya baik oleh politisi dengan rencana revisi UU KPK maupun polisi dengan penarikan penyidik yang diperbantukan di lembaga pemberantas korupsi itu, rasanya kemalangan negeri tidak akan lama lagi. KPK tidak bisa menghadapi kekuatan musuh sendirian, kitalah yang harus memberi dukungan, rakyatlah yang harus bahu membahu membantu KPK.” kata kang Toha mengakhiri pembicaraan maghrib itu.
Kompasiana.com