Kecantikan memang sudah lama bukan lagi menjadi kesenangan pribadi yang rahasia bagi kaum wanita. Kecantikan telah menjadi ‘barang publik’ yang bisa dinikmati siapa saja yang melihatnya. Dan sebagaimana layaknya barang publik, ada tuntutan untuk memberi layanan prima, sehingga para wanita selalu berusaha untuk tampil cantik dalam segala kesempatan. Tidak terkecuali wanita muslimah dengan jilbab trendi mereka. “Tampil cantik dengan berjilbab”, itu adalah moto sebagian orang. Soal pakaiannya benar-benar syar’i atau tidak, itu urusan lain. Yang penting kepala dan seluruh tubuh atau aurat ‘terbalut’ dengan ‘indah.
Saya ingin mengutip tulisan Ismail Adam Patel dalam bukunya ‘Islam, the Choice of Thinking Women’ terkait masalah ini. Dia mengatakan:
Kecantikan telah menjadi nilai tukar, dan seperti uang, sangat dicari oleh para wanita. Namun demikian, ia lebih sukar untuk dijangkau daripada pound atau dolar, karena kaum laki-laki terus mendevaluasi ’nilai tukar’ tersebut. Tidak ada standar yang universal: ”Kecantikan” adalah sebuah berhala yang diciptakan oleh kaum laki-laki Barat, yang menaikkan dan merubah standar sekehendaknya, menjadikannya tidak mungkin untuk diraih oleh ibu, saudari atau anak perempuannya. Kecantikan wanita tidak ada hubungannya dengan wanita: kecantikan adalah segala hal mengenai intuisi dan kekuasaan laki-laki. Di Barat, hak laki-laki untuk memberikan penilaian terhadap penampilan wanita tanpa dirinya sendiri tunduk pada penilaian cermat (seperti yang dilakukannya kepada wanita-pent), dipandang sebagai pemberian Tuhan.
Ketika para wanita kulit putih kelas menengah melemparkan celemek mereka dan berbaris keluar dari pintu rumahnya dalam mengejar kebebasan, mereka jatuh tepat ke dalam jebakan salon kecantikan kapitalis. Pasar kapitalis telah memanipulasi wanita untuk membelanjankan lebih dari $33 milyar setiap tahun untuk produk diet, $20 milyar untuk produk kosmetik, $300 milyar untuk bedah kecantikan dan lebih dari $7 milyar dalam pornografi.
Di bagian lagi sang penulis berkata:
Industri mode menekan wanita untuk berperang dengan tubuh alami mereka sendiri melalui bedah kosmetik, mencekik diri mereka dengan pakaian dan rok ketat, membuat pincang kakinya dengan hak sepatu lancip dan berlapar-lapar hingga membahayakan kesehatan mereka atas nama diet.
Mode dan trend. Tampil modis dan trendi. Betapa banyak orang yang merasa gagal dan menjadi kehilangan kepercayaan diri bahkan frustrasi ketika tidak (mampu) mengikuti mode atau trend. Bukankah jilbab pun akhirnya diperlakukan sama, agar selalu mengikuti mode dan tren yang sedang ‘in’?. Bukankah jilbab kemudian kehilangan ensensinya sebagai penutup aurat dan lebih dimaksudkan untuk tampil menarik dalam paduan kaos pendek dan ketat dengan celana yang membentuk setiap lekukan tubuh, ditambah sepatu hak tinggi lancip yang menyebabkan setiap ayunan langkah membuat risih orang yang memandang?
Ya, itu semua demi untuk memenuhi selera pasar (atau pasaran) yang menghendaki wanita tampil cantik dan menarik. Menurut anda, siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan penampilan cantik seorang wanita? Wanita itu sendiri kah? Atau para penikmat asing di luar sana? Sadar atau tidak, sebagian besar penikmat kecantikan itu adalah orang-orang di luar sana. Para lelaki yang tidak anda kenal yang terdiri dari berbagai macam karakter, dengan berbagai macam ide dan hayalan yang bisa timbul di benak mereka yang distimulasi oleh penampilan anda.
Tahukah anda bahwa sebagaimana layaknya barang publik, maka dalam kasus penampilan cantik pun ada saja yang namanya ‘free rider’, alias orang-orang yang menarik manfaat dari penampilan cantik tersebut, meskipun kecantikan itu tidak ditujukan untuk menarik perhatiannya. Jangan salahkan mata liar laki-laki berpemikiran mesum pada penampilan anda, karena kecantikan anda adalah barang publik, yang memang dipertontonkan untuk umum. Hanya sekedar melilitkan kerudung kecil di kepala dan balutan pakaian ketat di sekujur tubuh dan pengakuan bahwa itu adalah jilbab, tidak menjadikan diri anda terlindung dari pengamatan jahil laki-laki iseng.
Sebagian wanita dengan enteng mengatakan, “Hak saya untuk berpenampilan seperti yang saya inginkan. Soal orang lain kemudian berpikiran ‘kotor’ itu salah mereka.” Loh? Bukankah anda sendiri yang menempatkan diri anda sebagai ‘obyek’ tontonan yang menggoda? Bukankah pelecehan seksual yang banyak terjadi atas kaum wanita diantaranya disebabkan oleh penampilan menggoda sang wanita itu sendiri? Bukankah kaum wanita itu sendiri yang telah menempatkan dirinya pada posisi rawan, rentan terhadap aksi pelecehan sementara dirinya sendiri lemah, tidak memiliki kemampuan untuk melawan? Tanggung jawab untuk melindungi kehormatan wanita adalah dimulai dari diri mereka sendiri. Mengapa justru memancing di air keruh?
Maaf, saya tidak hendak mengatakan bahwa keinginan untuk tampil cantik itu salah. Ingin tampil cantik dan menarik adalah tabiat wanita. Semua wanita saya kira sama pada kadar tertentu, ingin selalu terlihat cantik. Akan tetapi kecantikan bukanlah barang publik. Tidak ditentukan oleh trend di majalah mode. Kecantikan bukanlah kesepakatan orang (baca kaum laki-laki) atas diri anda bahwa penampilan anda super. Kecantikan itu tidak ditunjukkan dengan jilbab gaul yang trendi, yang membalut ketat seluruh tubuh disertai riasan-riasan sehingga tampil menggoda. Bukan! Bukan itu! Jangan seperti itu! Jilbab syar’i tidak seperti itu!
Anda adalah pribadi yang bebas, yang mandiri! Anda adalah subyek, bukan obyek! Anda adalah wanita yang dimuliakan di dalam Islam, yang dilindungi dengan seperangkat aturan untuk menjaga kehormatannya. Islam memerintahkan untuk menutup diri dengan pakaian malu bukan untuk mengucilkan anda dari pergaulan, tetapi justru untuk melindungi kehornmatan anda.
Anda adalah seorang yang merdeka, bukan benda yang bisa dinilai, ditaksir dan diberi label harga yang pantas, sehingga untuk medapatkan label harga yang tinggi atas kecantikan itu, anda rela melakukan berbagai cara, meski menyakiti diri dan menabrak norma-norma syar’i. Anda bukan wanita lemah tanpa daya yang selalu terombang-ambing mengikuti arus pasar kapitalis dan para penyerunya. Tidak! Anda lebih berharga daripada wanita pembeo yang latah pada perkembangan mode. Anda jauh lebih berharga dari itu! Menutup aurat dengan jilbab syar’i bukanlah kungkungan dan bukan pula keterbelakangan, akan tetapi kebebasan. Terbebas dari padangan mata iseng yang melihat wanita dan kecantikannya hanya sekedar obyek. Kebebasan untuk menunjukkan sikap dan menentukan pilihan; pilihan pada sesuatu yang Allah ridhai. Menjadikan diri anda subyek, pribadi yang dihargai kecerdasannya, agama dan akhlaknya, karakter dan kepribadiannya, dan bukan sekedar penghargaan pada fisiknya, atau isi rekeningnya.
Dan seperti kata Mr. Patel dalam judul bukunya, ‘Islam adalah pilihan bagi wanita yang berakal’, sebuah pertanyaan terlintas, “seberapa cerdas kita kaum muslimah, menjadikan Islam sebagai pilihan?” Bukan sesuatu yang mudah dijawab, apalagi diimplemetasikan. Setidaknya pada tataran penampilan kita bisa mulai berbenah diri agar tidak terjebak dalam tirani kecantikan dan belajar untuk memilih yang terbaik, keberanian untuk mengakui identitas sebagai seorang muslimah yang menampakkan rasa malu, dengan mengenakan jilbab syar’i.
Wallahu a’lam.
sumber: www.khayla.net