Apakah efek buruk jamu yang sudah mengenai badan saya masih mungkin diperbaiki? Begitu seorang pembaca bertanya tentang kebiasaannya minum jamu. Baca pula jawaban Dr. Handrawan Nadesul.
Dokter, saya pria, 57 tahun, sudah lebih sepuluh tahun minum jamu. Mulanya jamu kampung yang saya buat sendiri. Beberapa tahun belakangan ini saya mulai mengonsumsi jamu yang ada di warung-warung. Biasanya saya minum jamu di alun-alun kota kalau sore hari. Sambil mengobrol, kami duduk-duduk minum jamu sehat dicampur madu, telur, dan jahe. Ternyata memang membuat badan saya segar.
Belakangan saya membaca di surat kabar bahwa ada banyak merek jamu yang dilarang beredar. Saya merasa takut kalau-kalau selama ini saya minum jamu yang dilarang itu. Pertanyaan saya:1. Apa bahayanya kalau memang benar jamu yang beberapa tahun ini saya konsumsi itu termasuk yang dilarang? 2. Apakah efek buruk jamu yang sudah mengenai badan saya masih mungkin diperbaiki? 3. Masihkah saya boleh mengonsumsi jamu?
Mus. Kur., Purwokerto
Khasiat Jamu
Sdr. Mus.Kur. di Purwokerto,Minum jamu tentu saja baik. Namun, kekeliruan pandangan orang terhadap jamu sering salah kaprah. Bahwa sejatinya jamu bukanlah obat. Jamu membantu memelihara kesehatan. Bahan-bahan berkhasiat dalam jamu bersifat ramuan yang masih kasar (raw material), yang belum disaripatikan zat berkhasiatnya sebagaimana halnya obat.
Bahwa dalam bawang putih terkandung beberapa zat berkhasiat, sudah ada bukti ilmiahnya. Demikian pula dengan buah pace, pare, dan buah merah. Namun, selama yang dikonsumsi dari bahan alam itu bukan saripati zat berkhasiatnya, mereka belumlah tergolong obat.
Untuk mengubah sesuatu bahan alam yang mengaku berkhasiat menjadi obat, perlu proses pengujian yang panjang. Tak ubahnya dengan proses membuat suatu temuan obat baru. Ongkos untuk itu juga setinggi ongkos membuat sebuah obat baru. Oleh karena itu, pengakuan bahwa jamu, obat tradisional, ramuan, atau apa pun yang bukan tergolong obat, mampu menyembuhkan penyakit, jangan mudah menerimanya. Apa pun bahan berkhasiatnya, belum memenuhi persyaratan sebagai obat.
Sesuatu zat berkhasiat dalam obat sudah teruji khasiatnya. Artinya, untuk diagnosis penyakit yang sama, jika diberikan suatu obat dengan dosis yang sama, semua penyakitnya akan sembuh. Bukan hanya itu, efek sampingnya sudah dikenali pula dan keamanannya pun sudah terbukti. Tidak demikian halnya bila diberikan bahan berkhasiat.
Berbeda dengan obat, bahan berkhasiat yang umumnya belum teranalisis zat apa persisnya yang memberikan khasiat karena masih berupa bahan kasar (raw material), belum dapat berperan sebagai obat. Kesembuhan oleh bahan berkhasiat, belum bisa diterima secara bermakna (signifikan) sebagai obat.
Dari seratus pasien dengan penyakit yang sama jika diberikan suatu bahan berkhasiat, tidak semuanya berhasil disembuhkan. Sesuatu zat berkhasiat baru dinyatakan sebagai obat jika telah teruji berhasil menyembuhkan seluruh pasien dengan penyakit yang sama.
Serang Hati
Kita tahu, dalam bahan berkhasiat yang masih kasar terkandung pula zat-zat lain, yang mungkin tidak bermanfaat dan bisa jadi merugikan tubuh. Tidak setiap yang berasal dari alam, tentu selalu boleh bebas dikonsumsi. Kita tahu ada singkong beracun, ada jamur beracun, dan ada pula ikan laut beracun. Taruhlah suatu bahan alam memang berkhasiat. Namun, itu saja belum cukup untuk diputuskan bisa bebas dikonsumsi jika belum teruji keamanannya. Untuk ke situ perlu proses uji toksikologi (uji racun).
Tidak semua bahan berkhasiat yang dijual bebas di pasar sudah teruji toksikologinya. Termasuk jamu warisan nenek moyang yang mungkin betul berkhasiat, tetapi masih menyandang efek samping yang bisa jadi merugikan tubuh dan belum teruji aman untuk dikonsumsi.
Kita tahu, organ hati yang memikul beban racun bawaan bahan berkhasiat yang kita konsumsi. Hanya sekali-dua kali mengonsumsinya mungkin belum berefek buruk. Jika beban hati memikul racun itu dipikul bertahun-tahun, hati akan rusak juga. Riset Depkes di tahun 1970-an mengungkapkan tingginya angka kerusakan hati mereka yang mengonsumsi bahan berkhasiat alam (studi dilakukan di Palembang).
Kerusakan hati bisa juga terjadi oleh cemaran kapang (jamur) pada bahan berkhasiat alam, seperti umbi, akar, kacang-kacangan bila tidak disimpan secara baik. Kapang pada bahan alam ini yang berpotensi memproduksi racun aflatoksin. Hati akan rusak bila sampai tercemar aflatoksin. Kedelai dan kacang tanah asal Indonesia pernah ditolak Jepang lantaran tercemar kapang yang memproduksi aflatoksin tersebut.
Disinyalir, sebagian jamu yang dipasarkan tergolong jamu yang nakal. Selain mengandung bahan alami, sengaja dicampur obat juga. Bukan pula sembarang obat. Dari uji yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), ternyata tergolong jenis obat Daftar G, yang harus ditebus dengan resep dokter.
Ganggu Lambung
Dua obat yang sering dicampurkan dalam jamu nakal, yakni golongan obat encok golongan NSAID (non-steroid-anti-inflammatory drug), dan obat golongan kortikosteroid. Keduanya bikin badan jadi enteng dan hilang pegal-linunya. Dalam dunia medis, pemakaian gabungan kedua jenis obat ini tidak lazim mengingat masing-masing efek samping yang disandangnya.
Obat encok golongan itu punya efek samping, terlebih bagi mereka yang sudah usia lanjut, mengganggu lambung dan saluran cerna. Kasus usia lanjut mengalami perdarahan usus sehabis mengonsumsi obat encok, bukan kejadian yang jarang.
Demikian pula obat encok impor nakal pun, termasuk sebagian jamu pereda pegal-linu, mencampurkan jenis obat ini. Tidak jarang mencampurnya dengan obat golongan kortikosteroid. Obat jenis ini tergolong "obat dewa" karena membuat yang mengonsumsi merasa lebih segar. Ini jenis hormon (produksi kelenjar anak ginjal suprarenalis), yang dibutuhkan tubuh dalam kondisi siap-siaga-waspada.
Obat ini juga berkhasiat antiperadangan, umum dipakai untuk kasus alergi, pereda penyakit autoimun, dan tentu siap memikul efek sampingnya, yakni pengeroposan tulang (osteoporosis), memperburuk darah tinggi dan diabetes, selain menjadikan kulit jadi kasar berbulu.
Pemakaian golongan obat jenis ini dibatasi tak lebih dari seminggu. Kalau perlu lebih lama, tak boleh berhenti mendadak (tapering off) agar tak berefek buruk terhadap tubuh. Dalam dunia medis, pemakaian obat apa pun selalu mempertimbangkan risiko-maslahatnya. Apalagi jenis obat yang buruk efek sampingnya.
Periksa Keamanannya
Jadi dalam mempertimbangkan bahan berkhasiat, yang tidak nakal sekalipun, kita perlu pula menghitung efek samping selain keamanannya. Membaca kebiasaan Anda mengonsumsi jamu selama ini ada beberapa yang perlu diperhatikan berikut ini:
1. Perlu dilihat, apakah jamu yang selama beberapa tahun terakhir ini dikonsumsi berasal dari jamu yang nakal. Bila benar, hentikan saja, kendati benar memberi efek mengenakkan badan. Berkhasiat saja tak cukup kalau ternyata tidak aman dikonsumsi. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin sudah menimpa tubuh Anda, sebaiknya Anda melakukan pemeriksaan kepadatan tulang (densitometri), gula darah, tekanan darah, selain fungsi hati dan ginjal. Jika ada yang abnormal, segera dikoreksi.
2. Susahnya, kerusakan hati dan ginjal belum tentu bisa pulih, kendati pemakaian bahan yang tidak aman itu sudah dihentikan, sehingga harus diterima sebagai kenyataan. Kita tahu, kebiasaan gampang minum obat warung dan obat dokter sering berakibat buruk pada ginjal juga. Demikian pula tak mungkin bisa pulih kembali jika tulang sudah jadi keropos oleh pemakaian kortikosteroid dalam jamu nakal.
3. Kalau ditanya apakah masih boleh mengonsumsi jamu, tentu saja tidak ada larangan untuk itu. Namun, perlu lebih bijak dalam memilih, dan tidak boleh beranggapan kalau jamu, bahan berkhasiat, atau ramuan warisan nenek moyang itu sebagai obat. Apalagi kalau diklaim sebagai obat untuk berbagai macam penyakit.
Nalar medis sukar menerima klaim bahwa sebuah zat berkhasiat bisa mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit (1001 macam penyakit). Semakin gencar klaim mampu menyembuhkan penyakit apa saja, dalam nalar medis, semakin harus dikategorikan sebagai kebohongan.
Tidak ada zat berkhasiat dewa pun yang mampu menyembuhkan penyakit apa saja. Tidak ada obat serbaguna, apalagi kalau itu belum tergolong sebagai obat.
Sumber: Gaya Hidup Sehat