Kita diperintah untuk ikhlas dalam amalan dan bukan hanya terus menerus memperbanyak amal. Niat kita mesti diluruskan dalam setiap beramal. Termasuk pula dalam amalan mulia semacam haji.

Dalam beramal kita dituntut untuk melakukan dua perkara yaitu murni dalam beribadah pada Allah (alias: ikhlas) dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110).
Fudhail bin ‘Iyadh ditanya mengenai ayat,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2). Kata Fudhail, yang dimaksud adalah akhlashuhu wa ashwabuhu, yaitu yang paling ikhlas dan paling mengikuti tuntunan nabi.
Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada Allah dengan ikhlas.
(*) Dikembangkan dari kitab “Ahwalus Salaf fil Hajj”, karya: Dr. Badr bin Nashir Al Badr, hal. 24-25, terbitan Darul Fadhilah.