Para ulama telah menjelaskan dalam berbagai kitab mereka mengenai tata cara mengkhitan perempuan. Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, Prof Dr Hj Huzaimah Y Tanggo meringkasnya dalam bukunya, "Fikih Anak".
Berikut adalah pendapat para ulama mengenai taca cara khitan perempuan:
Al Mawardy mengatakan, “Khitan bagi wanita itu dengan memotong kulit yang menutupi bagian atas farjinya, di atas tempat masuknya zakar. Bentuknya seperti jengger ayam jantan. Yang wajib dipotong adalah kulit bagian atasnya tanpa mencabutnya (tanpa menghilangkan semua)”
Imam al-Haramayn mengatakan, “Yang perlu dalam mengkhitan wanita adalah asal memenuhi apa yang disebut khitan.”
Sedang menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiah bahwa mengkhitan wanita adalah dengan memotong kulit bagian atas farjinya yang bernentuk seperti jengger ayam jantan.
Berikut adalah pendapat para ulama mengenai taca cara khitan perempuan:
Al Mawardy mengatakan, “Khitan bagi wanita itu dengan memotong kulit yang menutupi bagian atas farjinya, di atas tempat masuknya zakar. Bentuknya seperti jengger ayam jantan. Yang wajib dipotong adalah kulit bagian atasnya tanpa mencabutnya (tanpa menghilangkan semua)”
Imam al-Haramayn mengatakan, “Yang perlu dalam mengkhitan wanita adalah asal memenuhi apa yang disebut khitan.”
Sedang menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiah bahwa mengkhitan wanita adalah dengan memotong kulit bagian atas farjinya yang bernentuk seperti jengger ayam jantan.
Jadi, berdasarkan pendapat tersebut, khitan wanita itu adalah dengan memotong sebagian kulit yang telah diisyaratkan di atas tanpa mencabutnya atau tidak berlebihan dalam memotongnya. Sebab nabi Muhammad saw pernah mengatakan kepada wanita yang biasa mengkhitan wanita di Madinah, “Janganlah kamu berlebihan. Sebab itu lebih menguntungkan/menyenangkan wanita dan sangat disukai suaminya.”
Dalam satu riwayat yang disebutkan oleh Ruzain, “Janganlah kamu berlebihan. Sebab hal itu akan lebih menjadikan wajah berseri dan lebih menguntungkan laki-laki (suami)”
Syekh Abu Muhammad mengatakan, “Maksud hadits tersebut, bahwa jika tidak berlebihan dalam memotong, maka akan lebih memberikan kesegaran kepada muka dan bagus untuk kepuasan jimak.”
Jadi, khitan bagi wanita akan menambah kecantikan dan keindahannya, serta menambah keelokan dan keceriaan pada air muka. Hal tersebut tidak akan didapatkan oleh wanita-wanita yang tidak berkhitan.”
Kapan Waktunya?
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu yang pantas untuk mengkhitan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Di kalangan mahzab Syafi’i dikenal ada dua waktu. Pertama waktu wajib, dan kedua waktu istihbab/sunnah.
Adapun waktu wajib dikhitan adalah segera sejak mulai balig. Sedangkan waktu yang disunnahkan dimulai sejak kecil, dan waktu yang paling utama adalah pada hari ketujuh. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengkhitan Hasan dan Husen pada hari tersebut. Jika tidak dapat dikhitan pada hari ketujuh, maka dilakukan pada hari keempat puluh. Jika tidak dapat dilakukan pada hari tersebut maka dapat diakhirkan sampai usia tujuh tahun. Tetapi jika masih belum dikhitan sampai ia dewasa, maka si anak mempunyai kewajiban untuk mengkhitan dirinya, kecuali jika ia tahu persis bahwa khitan akan mencelakakannya, maka kewajiban tersebut menjadi gugur.
Imam Nawawi menyebutkan bahwa mengkhitan anak sejak kecil itu hukumnya sunnah dan bukan wajib. Lalu ia mengatakan, “Itulah mazhab yang shahih dan masyhur mengenai masalah tersebut.”
Ibn al-Haj berkata, “Telah menjadi kebiasaan ulama dan orang-orang salaf bahwa mereka mengkhitan putra putrinya ketika menjelang dewasa/balig. Tetapi disebutkan dalam satu riwayat bahwa Nabi Muhammad saw mengkhitan Hasan dan Husen pada hari ketujuh atau sekitar itu. Sebetulnya masalahnya sederhana saja. Apapun yang dilakukan mukallaf adalah suatu ketaatan terhadap ajaran agama. Hal itu dikembalikan kepada tuntutan sebab/alasan, karena anak kecil tidak wajib ditaklif. Memotong sesuatu darinya sebelum berhak ditaklif merupakan penyiksaan –atau menyakitinya—dengan apa yang tidak semestinya diterapkan kepadanya sebelum waktunya. Adapun mengkhitan anak ketika masa puberteit (tamyiz) –atau menjelang dewasa (balig)—maka hal itu sudah wajib (sudah jelas kemaslahatannya). Sebab membuka aurat anak yang telah mencapai umur dewasa itu diharamkan. Akan tetapi mengkhitannya pun akan menimbulkan rasa sakit yang besar di samping sembuhnya pun agak lambat. Berbeda dengan anak kecil, rasa sakitnya sedikit dan sembuhnya pun lebih cepat.
Ringkasnya, bahwa mengenai waktu khitan itu mesti diperhatikan kemaslahatan anak. Kemaslahatannya menuntut untuk mengkhitannya ketika masih kecil dan sebelum besar atau dewasa. Sebab, jika telah besar, maka rasa sakitnya pun akan terasa lebih besar.
Dalam satu riwayat yang disebutkan oleh Ruzain, “Janganlah kamu berlebihan. Sebab hal itu akan lebih menjadikan wajah berseri dan lebih menguntungkan laki-laki (suami)”
Syekh Abu Muhammad mengatakan, “Maksud hadits tersebut, bahwa jika tidak berlebihan dalam memotong, maka akan lebih memberikan kesegaran kepada muka dan bagus untuk kepuasan jimak.”
Jadi, khitan bagi wanita akan menambah kecantikan dan keindahannya, serta menambah keelokan dan keceriaan pada air muka. Hal tersebut tidak akan didapatkan oleh wanita-wanita yang tidak berkhitan.”
Kapan Waktunya?
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu yang pantas untuk mengkhitan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Di kalangan mahzab Syafi’i dikenal ada dua waktu. Pertama waktu wajib, dan kedua waktu istihbab/sunnah.
Adapun waktu wajib dikhitan adalah segera sejak mulai balig. Sedangkan waktu yang disunnahkan dimulai sejak kecil, dan waktu yang paling utama adalah pada hari ketujuh. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengkhitan Hasan dan Husen pada hari tersebut. Jika tidak dapat dikhitan pada hari ketujuh, maka dilakukan pada hari keempat puluh. Jika tidak dapat dilakukan pada hari tersebut maka dapat diakhirkan sampai usia tujuh tahun. Tetapi jika masih belum dikhitan sampai ia dewasa, maka si anak mempunyai kewajiban untuk mengkhitan dirinya, kecuali jika ia tahu persis bahwa khitan akan mencelakakannya, maka kewajiban tersebut menjadi gugur.
Imam Nawawi menyebutkan bahwa mengkhitan anak sejak kecil itu hukumnya sunnah dan bukan wajib. Lalu ia mengatakan, “Itulah mazhab yang shahih dan masyhur mengenai masalah tersebut.”
Ibn al-Haj berkata, “Telah menjadi kebiasaan ulama dan orang-orang salaf bahwa mereka mengkhitan putra putrinya ketika menjelang dewasa/balig. Tetapi disebutkan dalam satu riwayat bahwa Nabi Muhammad saw mengkhitan Hasan dan Husen pada hari ketujuh atau sekitar itu. Sebetulnya masalahnya sederhana saja. Apapun yang dilakukan mukallaf adalah suatu ketaatan terhadap ajaran agama. Hal itu dikembalikan kepada tuntutan sebab/alasan, karena anak kecil tidak wajib ditaklif. Memotong sesuatu darinya sebelum berhak ditaklif merupakan penyiksaan –atau menyakitinya—dengan apa yang tidak semestinya diterapkan kepadanya sebelum waktunya. Adapun mengkhitan anak ketika masa puberteit (tamyiz) –atau menjelang dewasa (balig)—maka hal itu sudah wajib (sudah jelas kemaslahatannya). Sebab membuka aurat anak yang telah mencapai umur dewasa itu diharamkan. Akan tetapi mengkhitannya pun akan menimbulkan rasa sakit yang besar di samping sembuhnya pun agak lambat. Berbeda dengan anak kecil, rasa sakitnya sedikit dan sembuhnya pun lebih cepat.
Ringkasnya, bahwa mengenai waktu khitan itu mesti diperhatikan kemaslahatan anak. Kemaslahatannya menuntut untuk mengkhitannya ketika masih kecil dan sebelum besar atau dewasa. Sebab, jika telah besar, maka rasa sakitnya pun akan terasa lebih besar.
SUARA-ISLAM