Pendahuluan
google image |
Dari tulisan sebelumnya kita telah mengenal adanya beberapa jenis risiko yang
antara lain adalah risiko kredit (credit risk), risiko likuiditas (liquidity
risk), dan risiko tingkat bunga (interest rate risk). Disamping itu kita juga
mengenal adanya risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange rate risk),
dan risiko operasional (operational risk). Berbagai jenis risiko itu juga dapat
dibedakan atas dua kelompok besar yaitu: (1) Risiko yang sistematis (systematic
risk), yaitu risiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu
yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan
ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis atau resesi, dan
sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum; dan (2) Risiko yang
tidak sistematis (unsystematic risk), yaitu risiko yang unik, yang melekat pada
suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja.
Perbankan Islam juga berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut, kecuali
risiko tingkat bunga, karena Perbankan Islam tidak akan berurusan dengan bunga.
1. Risiko kredit
Risiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok
dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang
dilakukannya.
Penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan
pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan
kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi
berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko ini akan semakin nampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi.
Turunnya penjualan mengakibatkan berkurang-nya penghasilan perusahaan, sehingga
perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar
hutang-hutangnya. Hal ini semakin diperberat dengan meningkatnya tingkat bunga.
Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang
memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang
diberikannya. Dan tentu saja bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang
berat, jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar.
Risiko kredit muncul manakala bank tidak dapat memperoleh kembali tagihannya
atas pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab
utama dari risiko ini adalah penilaian kredit yang kurang cermat dan lemahnya
antisipasi terhadap berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko ini dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit
bagi setiap aparat perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (autorize limit) dan
batas jumlah (pagu) kredit yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan
tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi.
2. Risiko likuiditas
2.1. Risiko likuiditas
Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik yang besar maupun yang
kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan lebih kepada
ketidakmampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai.
Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari,
mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah akan
pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik
dan menguntungkan.
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga
mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu
besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat
profitabilitas.
Risiko likuiditas muncul manakala bank mengalami ketidak-mampuan untuk memenuhi
kebutuhan dana (cash flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik
untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun untuk memenuhi kebutuhan
dana yang mendesak.
Besar-kecilnya risiko ini banyak ditentukan oleh :
- kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow)
berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana-dana, termasuk
mencermati tingkat fluktuasi dana-dana (volatility of funds);
- Ketepatan dalam mengatur struktur dana-dana termasuk kecukupan dana-dana non
PLS;
- Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan - Kemampuan
menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk
fasilitas lender of last resort.
3. Risiko Nilai Tukar Valuta Asing
Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange rate risk) timbul apabila
bank mengambil posisi terbuka (open position). Di saat bank berada pada posisi
beli (overbought position / long position), kerugian akan terjadi bila nilai
tukar mata uang lokal (currency base) cenderung naik (menguat), dan sebaliknya
pada saat bank berada pada posisi jual (oversold position / short position),
kerugian akan terjadi apabila mata uang lokal cenderung turun (melemah).
Risiko nilai tukar valuta asing ini dapat ditekan dengan cara membatasi atau
memperkecil posisi, atau bahkan dapat dihindari sama sekali bila bank selalu
mengambil posisi squaire.
Bagi Perbankan Islam, pada umumnya lebih mampu menghindari risiko nilai tukar
valuta asing, karena mereka dituntut untuk mematuhi norma-norma syariah yang
antara lain adalah:
a. Bank Islam hanya melakukan transaksi komersil dan tidak akan pernah
melakukan transaksi arbitrage;
b. Bank Islam hanya akan melakukan pertukaran valuta asing secara tunai;
c. Bank Islam tidak melakukan short selling; dan
d. Bank Islam tidak akan pelakukan pertukaran tanpa penyerahan (non delivery
trading).
Tulisan: Drs. Zainul Arifin, MBA
sumber www.tazkiaonline.com