-->

Berhari Raya yang Islami


Oleh: Ali Akbar bin Agil


PADA tiap edisi Lebaran Idul Fitri masyarakat yang tinggal di perkotaan melakukan ‘ritual’ mudik ke kampung kelahiran.  Pada tahun ini para pemudik diprediksi mencapai 16 juta jiwa, baik yang menggunakan alat transportasi udara, darat, maupun laut.
Dalam ‘ritual’ satu ini instansi pemerintahan seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Polri bekerja siang-malam demi menyukseskan hajatan tahunan terbesar itu. Beragam cara dan aturan dibuat demi menunjang kelancaran dan keselamatan para pemudik.
Demikian halnya dalam berhari raya, penting sekali bagi kita mengenal ‘rambu-rambu’ yang mengatur bagaimana kita mengisi hari raya dengan hal-hal islami demi ‘menunjang keselamatan dan kelancaran’ dalam berhari raya. Agar kesucian yang Allah berikan kepada kita bisa terjaga kelangsungannya.
Rambu-rambu pertama adalah tetap dalam kesederhanaan. Kita sah-sah saja membeli dan mengenakan baju baru, kemeja, baju koko, sarung, abaya bagi muslimah, yang baru. Boleh-boleh saja kita membuat kue atau masakan untuk dimakan oleh anggota keluarga maupun sebagai sajian hidangan buat para tamu.  Akan tetapi, semua hal di atas tetap kita lakukan dengan kesederhanaan dan jangan malah menjadi ajang saling bermegah-megahan, bermewah-mewahan, dan bersikap boros.
Ramadhan yang tidak lama lagi kita tinggalkan mengajarkan pengendalian hawa nafsu dari perkara-perkara yang tidak sepatutnya, termasuk mengendalikan diri dari mengikuti keinginan tanpa didasari kebutuhan yang mendesak. Dalam Al-Qur`an dengan tegas Allah melarang bersikap boros.
Allah berfirman:


وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً


 “…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra` [17] : 26-27).
Begitu pula dalam soal makan dan minum, ada ‘rambu-rambu’ untuk mencegah terjadinya ‘kecelakaan’ pada fisik kita. Pada intinya, kita bisa makan dan minum sesuai kebutuhan kita, tapi sekali lagi, tidak berlebih-lebihan. Makan saat betul-betul lapar dan berhenti sebelum kenyang, demikian yang diajarkan oleh Rasul.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A`raaf [07] : 31).
Cara berhari raya idul fitiri secara islami yang kedua adalah mempererat tali silaturrahim dan persaudaraan sesama umat Islam. Dalam Islam persaudaran tidak mengenal batas-batas territorial, suku, ras, dan warna kulit. Rasulullah membuat perumpaan persaudaraan dengan indah. Beliau menggambarkan bahwa persaudaraan di antara sesama umat Islam laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan.
Di sisi lain, ada satu hal yang telah mendarah daging padahal salah tapi dipandang lumrah belaka, yaitu bersalam-salaman dengan laki atau wanita yang tidak satu mahram. Dengan alasan sudah jadi tradisi dan kebiasaan turun-temurun, seorang laki-laki menyalami wanita atau sebaliknya ditambah dengan cipika-cipiki. Hal demikian jelas bertentangan dengan ‘rambu-rambu’ berhari raya yang islami.
Soal ketidakbolehan bersalaman dengan yang bukan mahram, Rasulullah telah menjelaskan, “Ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada (menanggung hukuman disebabkan) menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani)
Mungkin saja ada yang berdalih bahwa dirinya pernah melihat seorang tokoh agama menyalami wanita yang bukan mahramnya. Untuk menjawabnya, kita katakan bahwa perilaku manusia tidak dapat dirujuk menjadi alat pembenar untuk menyatakan keabsahan suatu perbuatan. Dalil dan petunjuk yang sah adalah Rasulullah SAW yang pernah bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menyalami kaum wanita.” (HR. Ahmad).
Di Tanah Air, silaturrahmi dalam momentum Idul Fitri sering diistilahkan dengan Halal bi Halal yang terwujud dalam pertemuan keluarga atau reuni dengan teman lama.
Adab-adabnya sebagai berikut:
Pertama, memperhatikan hari dan waktu yang tepat untuk berkunjung. Usahakan memberi tahu di awal terutama untuk yang akan datang dari jauh, gunakan pakaian yang baik, membawa hadiah atau sesuatu yang bermanfaat baik materi maupun non materi jika mampu.
Kedua, orang yang lebih muda sepatutnya mendatangi orang yang lebih tua. Begitu pula orang awam mendatangi orang alim yang lebih tahu permasalahan agama.
Ketiga, dianjurkan saling memberi nasihat dan wasiat kebaikan. Jika dalam acara resmi dianjurkan mengundang dai atau muballigh untuk member siraman rohani.
Keempat, jangan mengatakan dan melakukan sesuatu yang tidak disukai serta hindari ghibah (menggujing) dan dusta.
Kelima, menjauhi kemaksiatan seperti bersalaman dengan yang bukan mahram –sebagaimana yang telah disinggung di atas-, menyuguhkan musik dan lagu yang tidak islami, melalaikan datangnya waktu shalat.
Keenam, ketika bertemu dianjurkan untuk berjabat tangan, mengucapkan salam ketika pertemuan dan perpisahan serta saling mendoakan. Ketika bertemu saudara sesama muslim dianjurkan untuk mengucapkan, “Taqabballahu minna wa minkum, kullu `amin wa antum bi khair” (semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian, serta semoga kalian selalu dalam kebaikan). Perkataan tersebut diucapkan dengan tulus dan wajah riang agar amal-amal kita benar-benar diterima Allah SWT.
Cara ketiga berhari raya Idul Fitri yang islami adalah dengan tidak lagi mengulangi kemaksiatan. Biasanya di bulan Ramadhan, kantong-kantong kemaksiatan ditutup rapat-rapat; biasanya pula di bulan Ramadhan sebagian artis yang biasanya tampil seronok, mengumbar aurat, ramai-ramai meramadhankan diri dengan menutup tubuhnya rapat-rapat dengan balutan kerudung dan seterusnya; biasanya juga, tayangan-tayangan televisi yang sering menampilkan program tidak mendidik, sedikit banyak menampilkan acara-acara bertemakan Ramadhan.
Dari semua kebiasaan-kebiasaan baik yang tercipta dalam bulan Ramadhan ini, seiring selesainya bulan suci tersebut kantong-kantong kemaksiatan dan tayangan-tayangan televisi kembali ‘unjuk gigi’ dengan kekhasannya.
Apabila kita tidak pandai melihat keadaan seperti ini, bisa saja kita salah dalam menerjemahkan makna berhari raya idul fitri yang ujung-ujungnya memburamkan makna dan hikmahnya. Contohnya, kita sudah beristiqamah melaksanakan shalat secara berjamaah di masjid selama bulan Ramadhan, beristiqamah mengenakan jilbab, menutup aurat, bertaubat dari bermain judi, menunggak Miras, dan sebagianya, semua itu akan menjadi berhenti manakala kemaksiatan terulang karena tidak kuat mengelola diri dengan baik.
Langkah pertama dan utama untuk tidak mengulang perbuatan maksiat adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim dengan, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagimu meninggalkannya.”
Alangkah indahnya Ramadhan yang diakhiri dengan hari idul fitri yang islami, jauh dari kemewahan dan kemegahan, ajang pamer harta, namun menjadi wahana untuk tetap istiqamah di jalur kebaikan agar selamat dalam perjalanan mudik dari dunia ke negeri akhirat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Taqabballahu minna wa minkum, kullu `amin wa antum bi khair.*
Penulis adalah Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang-Jatim
www.hidayatullah.com
LihatTutupKomentar