Tulisan Oleh : Uswatun Hasanah (Dosen Universitas Indonesia)
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan kesejahteraan
umat sudah lama melembaga di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki tanah wakaf yang luas. Namun
karena sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-undangan yang
memadai, tanah wakaf itu tidak berkembang dengan baik, bahkan sering
menimbulkan masalah. Hal inilah antara lain yang memunculkan kesadaran pemerintah
Hindia Belanda untuk menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu
Priesterraad (Pengadilan Agama) didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 Tahun
1882, salah satu yang menjadi wewenangnya adalah menyelesaikan masalah wakaf.
google image |
Setelah merdeka, Pemerintah RI juga mengeluarkan peraturan-peraturan
perwakafan, namun kurang memadai. Karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum
Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus
sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia,
pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP
tersebut baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu,
yakni PP Nomer 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar
hukum yang kuat. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama,
dinyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Prof.
Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya
antara lain bermakna bahwa "Negara Republik Indonesia" wajib
menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani
dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali, apabila dalam pelaksanaan syariat
itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Alasannya, syariat yang berasal
dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan
hidup para pemeluknya. Ayat (2) pasal itu dengan jelas juga menyebutkan bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.
Dilihat dari kedua ayat itu, tersebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu
bentuk ibadat kepada Allah. Kategorinya termasuk ibadah maliyah yaitu ibadah
berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang
ditentukan. Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain,
tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar semua
itu dapat berjalan dengan baik, pemerintah wajib mengatur masalah wakaf dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan
itu ketertiban dalam praktik perwakafan diharapkan dapat terwujud.
Di samping Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, ada beberapa peraturan lain yang mengatur masalah perwakafan di
Indonesia, antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang
Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan tanah milik; Peraturan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan
tentang Perwakafan Tanah Milik; Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978
tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama
Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap
kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi
dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU itu, dalam
Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah. Dengan adanya berbagai
peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan
tertib. Namun kenyataannya, peraturan-peraturan yang berkenaan dengan wakaf
tersebut sampai dengan tahun 1990 belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah
perwakafan.
Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada, pada tanggal 30
November 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di
samping itu agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah
perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku III juga dimuat
hal-hal yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan. Dengan demikian para hakim
mempunyai pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan diharapkan dengan adanya
kompilasi itu, tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Setelah terbitnya berbagai aturan itu, tertib administrasi perwakafan di
Indonesia memang meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya tanah wakaf yang
bersertifikat. Akan tetapi dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat belum nampak. Mungkin karena wakaf yang diatur dalam PP No. 28 Tahun
1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak
belum diatur. Karena benda-benda bergerak di Indonesia belum ada peraturannya,
maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan. Apalagi kebanyakan
nadzir wakaf juga kurang professional dalam pengelolaan wakaf. Mereka belum
bisa mengembangkan wakaf secara produktif.
Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka UU Wakaf
yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh
karena itu sudah selayaknya umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya
mendukung pemerintah yang saat ini sedang menyiapkan RUU Wakaf. Dalam UU Wakaf
nanti hendaknya dimasukkan hasil rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia
yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf
(mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda
bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain
yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf yang diatur dalamUndang-undang Wakaf hendaknya jangan dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi
juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam
termasuk wakaf uang, saham dan lain-lain.
sumber www.tazkiaonline.